Dari Sufi Palsu Menuju Sufi Sejati: Perjalanan menuju kebenaran sesungguhnya

Dipersembahkan oleh Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA

Tren studi tentang tasawuf saat ini tengah berkembang. Secara tiba-tiba, banyak orang mulai menyebut dirinya sufis dengan berbagai interpretasi yang berbeda-beda.

Diantara mereka kemungkinan besar terdapat orang-orang yang benar-benar sufi asli (sufi), serta ada pula yang menyebut dirinya sufi atau bisa disebut sufi palsu (mutashawwif).

Seorang Sufi yang sesungguhnya telah melewati serangkaian pertarungan dan perjalanan spiritual yang panjang dengan teratur (mujahadah).

Sementara itu, sufi yang palsu tidak pernah menghadapi perjalanan jauh atau berusaha ekstra untuk menaklukkan tingkatan (maqam) tersebut.

Di antara sufi yang sesungguhnya dan sufi palsu sangatlah sulit untuk dipisahkan oleh orang biasa.

Terkadang seorang sufi yang sebenarnya dianggap sebagai sufi palsu atau bukan sufi, karena tampilannya secara fisik dan duniawi tidak memenuhi harapan orang lain.

Sebagai contoh, seseorang bisa membayangkan seorang sufi berpakaian seragam istimewa, diiringi oleh para pembantu (mursyid), memimpin sebuah tarekat dengan banyak pengikut, serta memiliki nilai muru'ah yang tinggi.

Sufi palsu ahli dalam mengartikulasikan harapan para jemaah. Segala sesuatu yang menjadi keinginan jemaah dipenuhi sementara hal-hal yang tak mereka inginkan dirahasiakan dengan cermat.

Ciri-ciri khas dari sufi sejati biasanya enggan menyebut dirinya sendiri sebagai sufi, tidak ingin mengumumkan pengajaran mereka, tidak tertarik pada hal-hal material, dan cenderung menjauhi ketenaran serta keramaian orang banyak.

Lebih sering dia berbuat baik dan melaksanakan mujahadah dibandingkan dengan bicara panjang lebar atau memberi ceramah dimana-mana.

Dia kurang begitu menyukai undangan ke berbagai tempat namun lebih memilih untuk bertahan dan tinggal di rumah atau pondoknya bersama para santri serta murid-muridnya.

Dia bersikap hati-hati dalam berkata-kata dan melatih dirinya saat bertemu dengan orang-orang baru, namun para murid lama serta kenalan-kenalannya aktif dalam proses pembelajaran tersebut dengan cara memandu, mendoakan, dan mengajarinya.

Tanda-tanda dari seorang Sufi palsu yang mendasar adalah mereka cenderung memposisikan dirinya sebagai pemimpin atau figur rohani, gemar berjanji akan kesuksesan melalui doa dan wirid kepada pengikutnya, sering kali merendahkan ustadz atau orang-orang rohani lain, memiliki etika rendah, menikmati pujian dan ketenaran, sulit untuk menyembunyikan hasrat mereka terhadap harta benda dan duniawi, bahkan bergantung secara ekonomi pada para pengikutnya, serta mudah tersulut emosi dan marah.

Dia juga condong untuk mengklasifikasikan anggotanya berdasarkan lapisan sosio-ekonomi, dengan lebih hormat serta lebih fleksibel dalam menyediakan layanan bagi kalangan atas, sementara sebaliknya dia agak cuek pada mereka yang kurang memiliki status.

Dia sangat lincah dalam memenuhi kebutuhan orang-orang atau jamaah tertentu, sedangkan para siswa di padepokannya seolah terlupakan.

Seorang Sufi yang sesungguhnya akan membimbing dan mengajarkan melalui hati dan jiwa, hingga perasaan tersebut benar-benar tersentuh di dalam hati para siswanya serta pengikut-pengikunya.

Semua hal tersebut berasal dari hati nurani hingga membuat para murid percaya padanya. Seperti yang dikatakan dalam ungkapan "apapun yang datang dari hati pasti mencapai hati" (semua apa yang keluar dari hati akhirnya masuk ke dalam hati). Sementara itu, sufi palsu pandai merubah kata-kata, tampil dengan cara yang menawan, namun ironisnya mereka hanya seolah-olah ucapannya 'masuk melalui telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri', tidak tertanam sedikitpun. (*)

Lebih baru Lebih lama